Rabu, 28 November 2007

Tanaman Jarak

Jarak pagar sebenarnya sudah dikenal orang Indonesia semenjak dulu, orang Jepang mengklaim yang memeperkenalkan Jarak pagar di Indonesia, entahlah.
Tapi saat ini, tanaman ini mulai dilirik beberapa pengusaha perkebunan dalam dan luar negeri untuk dikembangkan.
Perusahaan tempatku bekerja saat ini, sedang menulusuri jejak jarak di Indonesia, jika segala sesuatu nya lancar perkebunan jarak akan di kembangkan lebih lanjut sampai dengan 50,000 hectare.
Tanaman jarak ini termasuk tanaman yang tahan banting, dalam artian tidak memerlukan suatu kondisi khusus dalam membiakkannya, hanya perlu matahari, sedikit air dan sedikit pupuk, bertumbuhlah dia.
Konon tanaman jarak ini bisa tumbuh dan berbuah sampai berusia lima puluh tahun, tapi aku team ahli di perusahaanku mengambil acuan 25 tahun saja berbuah secara efefktif, setelah itu pohon jarak akan mati atau tidak lagi berbuah.
Apa yang menjadi sasaran keuntungan dari tanaman jarak ini? tidak lain adalah buahnya yang akan menghasilkan minyak, dan disebut minyak Jarak. Minyak jarak ini setelah proses refinery bisa dicampur dengan minyak diesel (solar) untuk bahan bakar, bahkan beberapa penelitian menyebutkan bahwa minyak jarak ini bisa digunakan secara utuh tanpa dicampur solar dan menjadi bahan bakar generator.
Indonesia yang juga memberikan perhatian untuk bahan bakar alternatif membentuk langkah nyata dengan membentuk tim nasional bahan bakar nabati, membuat peraturan tentang pengembangan bahan bakar nabati, dan melakukan sosialisasi dan penelitian. Bahan bakar nabati bisa dari tanaman jarak, dari tanaman jagung, dari singkong, dari ampas tebu, dari minyak sawit, dari kelapa. Kalau ditilik-tilik bangsa Indonesia ini memiliki sumber daya alam yang melimpah ruah, tapi belum optimal penggunaannya. Salah satu contoh ya bahan bakar nabati ini.
Baru saja minyak sawit mau dijadikan biodiesel, e...harga nya langsung melambung tinggi, kasihan deh ibu rumah tangga, yang ikutan kena imbasnya, harga minyak goreng langsung naik, dan biodiesel sawit pun ngerem mendadak cittt......
Bagaimana dengan minyak jarak? katakanlah minyak jarak tidak seperti minyak sawit (cpo) yang utilitas nya banyak bersinggungan dengan penggunaan lainnya seperti untuk menggoreng, untuk kosmetik, dll. Minyak jarak boleh dibilang 'stand alone' hanya untuk biodiesel. Tapi sampai saat ini belum ada satu perusahaan yang mapan dalam perkebunan maupun pengolahan minyak jarak ini. Sekiranya ada masih dalam tahap produksi kecil dibawah 10,000 liter per hari.
Nah dalam rangka investigasi, beberapa waktu lalu aku dan kolega ku dari Jepang bertemu dengan Pak Alhilal Hamdi - Ketua Tim Nasional Bahan Bakar Nabati, yang juga menjabat sebagai komisaris PLN. Beliau membeberkan beberapa informasi yang berguna, seperti langkah nyata pemerintah dalam keseriusan penanganan BBN ini. Pemerintah menetapkan PLN sebagai 'stand-bye buyer' untuk minyak jarak mentah maupun yang sudah diolah jadi bahan bakar biodiesel. Jadi berapa liter minyak jarak mentah ataupun yang sudah jadi biodiesel akan dibeli oleh PLN, dengan catatan harga per liter nya mesti dibawah harga minyak mentah fossil untuk minyak jarak mentah, dan harga miyak jarak biodiesel mesti dibawah harga minyak diesel / solar.
Setelah mendapatkan beberapa informasi dari pak Hamdi, aku dan temanku pergi mengunjungi perekebunan jarak PLN di Cirata Jatiluhur Jawa Barat. Tempatnya ya di area bendungan pembangkit listrik tenaga air Cirata. Pemanadangannya indaaaaaaah sekali....sayang tidak diabadikan, aku baru kehilangan kamera digitalku...
Disana terdapat perkebunan Jarak, baik yang dimiliki oleh PLN dan koperasi Karyawannya maupun yang diolah bersama dengan perusahaan Malaysia, Genting.
Genting sudah mengajukan kerjasama untuk menggarap 40 hektar perkebunan Jarak di kawasan Cirata. Suatu langkah bisnis yang jitu, karena PLN merupakan 'key player' dalam pengembangan industri BBN ini. Itu sebabnya ketika rekan ku yang dari Jepang mendatangi Genting Malaysia, mereka tidak mau terbuka untuk hal ini, mungkin termasuk taktik bisnis kali ye....
Nah dari informasi para petani Jarak di Cirata, hasil minyak dari tanaman Jarak bisa mencapai kisaran 30% dari total massa buah jarak yang dipanen. Dan menurut informasi rekan ku Takenaka san, minyak jarak bisa menggantikan kalori batu bara sebesar 80% untuk jenis low calorie coal.
Jadi saat ini aku lagi mencari rekanan lokal di seluruh Indonesia yang mau mengembangkan tanaman Jarak. Pasar regional sudah siap menyerap minyak jarak ini, dan juga pasar domestik seperti PLN dan perusahaan-perusahaan produsen biodiesel.
Jadi tunggu apa lagi, kalau tertarik atau ingin tahu lebih lanjut silahkan hubungi 021-5721230.

Senin, 26 November 2007

Kembali ke orbit

waduh, senang rasanya kembali sehat ya...; minggu kemarin tepatnya hari Selasa pusing meriang ngga karuan. Sepertinya virus influenza yg nyerang tanggal 1 November kemarin datang lagi, cuma lebih sangar yg sekarang nih...
badan demam tinggi sampai 39 celcius lebih, mana turun naik lagi tuh suhu badan...dalam kepala seperti ada kelereng dua di atas alis mata, wuidih pegel banget.....tumbang deh akhirnya istiraha di rumah selama dua hari, trus berobat ke dokter....
trus dikasih antibiotik dua jenis, dua duanya forte, alamak...biasanya kalau minum obat antibiotik dibuang, sekarang melihat symptomnya seperti ini, terpaksa deh....benar saja akibat makan obat-obatan itu leher jadi tegang, lambung terasa sebah, pernah mau pingsan pas hari Kamis nya - sehari setelah mulai pengobatan....dari hari rabu pengobatan, sampai sabtu perasaan masih ngga karuan...limbung....leher masih tegang. Minggu baru mulai enakkan, tapi leher masih tegang, seperti ada yang tersumbat....
Baru Senin pagi ini perasaan seperti sewaktu sehat, bangun pagi, tapi masih belum berani jogging....
Bulan November ini banyak absen untuk olahraganya...
Senang bisa sehat lagi, bersyukur, trima kasih Tuhan....

Minggu, 18 November 2007

Kalau lagi sakit...

Minggu lalu baru sembuh dari batuk dan flu, e...Sabtu kemarin badan ngga enak lagi.
Cuaca panas berganti dingin dalam beberapa jam memerlukan kondisi tubuh yang prima.
Aku punya kebiasaan yang kulakukan entah dari beberapa tahun yang lalu.
Kalau lagi sakit biasanya tubuh ini khan punya perasaan yang 'aneh' , atau badan pegal-pegal padahal tidak olahraga, kepala pusing, mata panas, meriang, lidah pahit. Maunya ngga jelas, istirahat ngga bisa, bekerja ngga konsentrasi, kacau deh...
Nah kalau sakit datang, aku sedikit terhibur, kenapa?
karena jika sakit, aku boleh makan-makan yang enak yang aku suka, tidak perlu mahal walaupun dari segi biaya pasti lebih mahal. Soalnya aku bawa 'ransum' sendiri masakan rumah saat pergi ke kantor. Jadi beli makanan di luar pasti lebih mahal.
Nah makan diluar ini bebas pilihlah asal sekali makan jangan sampai habis Rp 100 ribu, he he he...soalnya bisa brabe nanti rencana keuangan ku.
Nah kenapa aku pilih makan enak saat sakit, ini karena aku merasakan bahwa dengan makanan yang enak dimana si indra perasa di lidah yang pahit saat sakit mau menerima makanan tersebut dan menerusakannya ke saluran pencernaan. Nah kalau sudah dicerna diharapkan makanan enak dan bergizi tinggi itu bisa membantu tubuh untuk memulihkan kesehatannya, alias penyakitnya hilang, pergi.
Aku lebih memilih makan enak, baru pergi ke dokter kalau sudah dua hari pake obat yang di jual bebas di apotek tidak mempan. Apalagi kalau sakitnya cuma flu, batuk karena flu, dokter merupakan opsion kedua. Jadi makan enak itu ya sampai penyakitnya hilang.
Tidak dipungkiri kadar lemak atau kolesterol bisa menumpuk lebih banyak, karena biasanya yang enak itu ya berkolesterol he he he.....
Tapi saat sehat, si lidah kembali ke menu rumahan, yang mungkin tidak seenak para 'makanan enak' itu, tapi yang penting kandungan gizinya mencukupi.

Macet Jakarta = Kontra Produktif

Orang di Jakarta mungkin sudah terbiasa dengan kemacetan sehari-hari, apakah di utara, selatan, timur, barat maupun pusat. Daerah penyangga kota Jakarta seperti Bekasi, Depok, Tangerang, Bogor pun terkena imbasnya.
Tadi pagi aku kena kemacetan nya yang termasuk parah, dari rumah di kawasan Duri Kosambi Jakarta Barat sampai ke kantor di kawasan Sudirman memerlukan waktu tempuh 2 jam 15 menit. Padahal jaraknya cuma 20 kilometer!
Aku jadi teringat ketika pertama kali ke Jakarta, ketika kutanya pada teman kantorku berapa jarak yang mesti kutempuh dari Tanah Abang ke Kota, aku ditertawakan, temanku itu bilang di Jakarta tidak menggunakan jarak, tapi Jam. Berapa Jam atau berapa menit dari Tanah Abang ke Kota, itu baru pertanyaan yang tepat. Padahal waktu itu tahun 1995 loh, Jakarta makin lama makin bertambah macetnya.
Lalu saat bermacet ria di mobil diiringi klakson klakson mobil yang bersautan, aku coba berpikir berapa sebenarnya kerugian orang-orang yang terkena macet ini ya?
Dulu waktu aku masih menjabat seorang sales engineer, manager ku pernah memberikan target untuk bisa mengunjungi customer paling sedikit 4 perusahaan dalam satu hari, kalau sekarang sepertinya angka tersebut berkurang banyak. Saat ini aku paling bisa mengunjungi customer 2 perusahaan, satu sebelum istirahat siang, satu lagi setelah istirahat siang. Kalau satu bulan target ku dulu Rp 25 juta dan diharapkan dengan kunjungan sebulan sebanyak 4 kunjungan / hari x 22 hari = 88 kunjungan (atau sales visit); maka saat ini seorang sales engineer di perusahaan ku dulu mesti bisa memanfaatkan 44 kunjungan untuk bisa mengejar penjualan sebesar Rp 100 juta.
Loh kok Rp 100 juta, benar karena tahun 1995 1 USD masih senilai 2,500 rupiah. Itu karena barang nya import, belum itung variabel yang laiinnya loh...
Nah kalau begitu dimana kontra produktifnya? ya itu tadi yang mestinya bisa kunjungan lebih banyak jadi lebih sedikit. Syukur-syukur sales visit bisa diganti dengan sales call. Tapi aku yakin orang yang melakukan sales call pun berkurang produktifitasnya. Dari mestinya 1 jam bisa melakukan sales call katakanlah 30 call dalam satu jam, kalau dia terlambat 1 jam 30 call itu hilang toh...
Sekarang ambil contoh orang yang naik taksi, kalau taksi dengan tarif baru biaya per kilo meternya rata-rata Rp 2,500 ; waktu per jam nya Rp 13,000 .
Jadi kalau seseorang yang menempuh jarak yang sama tapi kondisi yang berbeda, satu macet (kecepatan rata-rata 5 km/jam) satu lancar (kecepatan 40 km / jam) maka yang macet itu pasti membayar lebih mahal, tergantung berapa lama dia berada di taksi itu.
Banyak sekali yang rugi dengan kemacetan ini, bukan hanya 'wong sugih' yang rugi seperti yang dibilang wakil gubernur Jakarta yang baru Prijatno. Aku yakin supir angkot, supir bis, atau mereka-mereka yang menggunakan jalan raya pada umumnya pasti mengalami ketidakproduktifan ini.
Sayang angkutan umum yang ada pun tidak bisa menyelesaikan masalah ini, bagaimana dengan busway? aku sudah hitung dari segi waktu masih belum sesuai harapan pemilik kendaraan pribadi, makanya masih banyak kendaraan pribadi yang belum mau pindah ke busway. Temuan Institute Transportasi Nasional mengatakan bahwa para pengguna busway hampir keselurahaannya (sekitar 80% lebih) adalah pindahan dari kendaraan umum yang lain.
Kalau menurut aku, untuk mengajak para pemilik kendaraan pribadi ke busway gampang !
1. perlihatkan busway tidak berdesak-desakan setiap saat
2. perlihatkan tidak ada antrian yang panjang dan penuh sesak di setiap haltenya
3. perlihatkan bahwa busway bisa melaju kencang di setiap koridor jalan, tidak ada perlambatan kecuali memang mau berhenti di halte untuk ambil dan menurunkan penumpang.
4. perlihatkan tidak ada antrian beli tiketnya.
kalau ke 4 hal itu dilihat oleh pemilik kendaraan pribadi setiap hari, apakah pagi hari, siang hari, sore sampai malam hari, aku jamin semua pemilik kendaraan pribadi pindah menggunakan busway.

Minggu, 11 November 2007

Bayar Listrik

Tadi pagi kena macet lagi, coba jalan baru; agak muter sih tapi lumayan lah ngurangi macet.
Dimana-mana lagi berbenah untuk hadapi banjir, banyak galian untuk memperlebar jalan keluar air hujan ke arah laut. Diperkiraken banjir di Jakarta diantara bulan Desember-Januari dimana curah hujannya paling tinggi. Daerahku Duri Kosambi termasuk rawan banjir.
Februari 2007 banjir, tapi banjir tidak menyentuh dalam rumah, cuma di halaman parkiran mobil. Tapi sempet deg-deg plas juga takut masuk rumah.
Akibatnya libur deh ngga kerja 5 hari, untuk perusahaan mengerti jadi ngga potong cuti. Tapi perusahaan pasti rugi ya....

Eh banjir emang kagak ada kaitannya ama bayar listrik, tapi pagi ini kok ada perasaan yg ngganjel semacam kewajiban belum terselesaikan, apaan gitu...ternyata belum bayar listrik !
Biasanya paling lambat per tanggal 20 tiap bulannya, tapi bulan lalu dapat pemberitahuan dari PLN bahwa ada perubahan mekanisme pembayaran. PLN mengkategorikan perumahan tempat ku tinggal untuk membayar rekening listrik nya dari periode tanggal 1-10 tiap bulannya. Padahal sudah set up alarm di handphone untuk bayar listrik hari Jumat kemarin tanggal 9, tapi kok missing ya ?

Ada suatu perubahan dari suatu kebiasaan memang perlu adaptasi, biasa bayar listrik tanggal 20, ngga usah pake reminder pasti bisa, tapi saat diubah langsung luput coy...mudah-mudahan sekali aja ya...mudah2an kerja dan kinerja pln juga lebih baik dengan pengubahan jadwal ini, yang mana ditujukan untuk mengatur antrian pembayaran di loket pln.

Padahal dari pertama aku menepati rumahku tahun 2004, pembayaran tidak pernah ke loket pln, tapi menggunakan jasa perbankan menggungakan mesin ATM. Mudah, tidak ada antrian, pembayaran tetap buka sistem 24 jam/7hari, murah cuma bayar Rp 2,500 sekali transaksi. Sekarang malah ada yang cepat lagi menggunakan mobile bbanking, jadi seperti bayar listrik ini tingggal pencat-pencet handphone, lunas deh...ngga usah cape-cape cari ATM, atau kalau memang mau tetap ada pake tandaterima bisa juga lewat internet banking, tinggal login, masuk menu klak klik klak klik, lalu di print sebagai bukti pembayaran, selesai deh.

Lantas yang jadi pertanyaan saya kenapa PLN mengubah dari tanggal 20 menjadi tanggal 10 ya? kalau alasan nya untuk mengurangi antrian, kok kayaknya kurang sreg ya...berani taruhan deh kalau masyarakat modern yang sudah biasa menggunakan 'plastic money' pasti minimal pake ATM untuk bayar tagihan listrik dan tagihan lainnya seperti pam, tagihan telephone dan tagihan lainnya sesuai service yg ditawarkan bank. Atau kah masih banyak yang membayar lewat loket pln? memang denger-denger si bayar lewat loket gratis ngga perlu bayar administration fee seperti di ATM, tapi kalau mau ke loket nya aja naik angkot pulang pergi 2 x Rp 2000 malah lebih mahal ya kan ?

Atau memang kurang yakin dengan perhitungan kWh nya? pernah ada beberapa kali aku temukan perhitungan kWh di ATM (hasil print out) berbeda dengan aktualnya. Hal ini bisa merugikan dua belah pihak PLN maupun konsumen. Semakin kecil selisih pencatuman angka kWh di ATM dengan aktual kWh meter, maka semakin kecil kerugian yang ditimbulkan. Sudahkah PLN memikirikan hal ini? atau PLN cukup pusing dengan kerugian yang terus menerus menderanya ?

Senin, 05 November 2007

Jakarta macet mulu..........

Ngga kemarin ngga hari ini, entah besok
tapi kok ya Jakarta maceeeet mulu........
jarak rumah-kantor cuma dua puluh kilo
tapi bisa mesti tempuh waktu dua jam...
siapa suruh pake mobil sndiri..................
eh pake busway sama aja.........................
kirain bisa lebih cepet gitu.......................
lebih murah sih iya...................................
tapi itu kalo sendiri, kalau bedua............
mending naik mobil pribadi.....................

ngga kemarin, ngga hari ini.....................
orang bilang busway bikin macet...........
tapi blum jadi solusi.................................
yg punya mobil ogah dempetan.............
kayak ikan pindang dipasar....................
nunggu di halte kringetan.......................
dorong-dorongan ampir jatuh................
jatuh-jatuhnya dua jam juga...................
ngga mobil pribadi, ngga busway...........
macet bukan problem wong sugih aja...

ngga kemaren ngga hari ini....................
kalau ngga mau macet tinggal di tengah
kota atau apartemen...............................
tapi oom, khan harganya ngga kebeli...
trus kaki ngga menjejak tanah..............
kaki di ketinggian hanya saat kerja......
untuk keluarga menjejak tanah............

ngga kemaren ngga hari ini...................
Jakarta macet melulu............................

Minggu, 04 November 2007

Jakarta hujan lagi....

mentari datang sekali, hilang lagi
awan putih awan kelabu silih berganti
rintik air hingga mengalir
rasa khawatir menanti

Jakarta hujan lagi
terulangkah Februari?
jangan-jangan jangan-jangan
mampukah sang ahli?

Jakarta hujan lagi...
kuajari anakku
tentang air, tentang hujan
dan tentang alam.....
tentang Nabi Nuh, bahtera dan ari bahnya
sekali lagi dan sekali lagi...

Jakarta hujan lagi,
tak perlu kusirami
rumput dan tanaman
terima kasih,
tapi aku tak ingin banjir...