Minggu, 18 November 2007

Macet Jakarta = Kontra Produktif

Orang di Jakarta mungkin sudah terbiasa dengan kemacetan sehari-hari, apakah di utara, selatan, timur, barat maupun pusat. Daerah penyangga kota Jakarta seperti Bekasi, Depok, Tangerang, Bogor pun terkena imbasnya.
Tadi pagi aku kena kemacetan nya yang termasuk parah, dari rumah di kawasan Duri Kosambi Jakarta Barat sampai ke kantor di kawasan Sudirman memerlukan waktu tempuh 2 jam 15 menit. Padahal jaraknya cuma 20 kilometer!
Aku jadi teringat ketika pertama kali ke Jakarta, ketika kutanya pada teman kantorku berapa jarak yang mesti kutempuh dari Tanah Abang ke Kota, aku ditertawakan, temanku itu bilang di Jakarta tidak menggunakan jarak, tapi Jam. Berapa Jam atau berapa menit dari Tanah Abang ke Kota, itu baru pertanyaan yang tepat. Padahal waktu itu tahun 1995 loh, Jakarta makin lama makin bertambah macetnya.
Lalu saat bermacet ria di mobil diiringi klakson klakson mobil yang bersautan, aku coba berpikir berapa sebenarnya kerugian orang-orang yang terkena macet ini ya?
Dulu waktu aku masih menjabat seorang sales engineer, manager ku pernah memberikan target untuk bisa mengunjungi customer paling sedikit 4 perusahaan dalam satu hari, kalau sekarang sepertinya angka tersebut berkurang banyak. Saat ini aku paling bisa mengunjungi customer 2 perusahaan, satu sebelum istirahat siang, satu lagi setelah istirahat siang. Kalau satu bulan target ku dulu Rp 25 juta dan diharapkan dengan kunjungan sebulan sebanyak 4 kunjungan / hari x 22 hari = 88 kunjungan (atau sales visit); maka saat ini seorang sales engineer di perusahaan ku dulu mesti bisa memanfaatkan 44 kunjungan untuk bisa mengejar penjualan sebesar Rp 100 juta.
Loh kok Rp 100 juta, benar karena tahun 1995 1 USD masih senilai 2,500 rupiah. Itu karena barang nya import, belum itung variabel yang laiinnya loh...
Nah kalau begitu dimana kontra produktifnya? ya itu tadi yang mestinya bisa kunjungan lebih banyak jadi lebih sedikit. Syukur-syukur sales visit bisa diganti dengan sales call. Tapi aku yakin orang yang melakukan sales call pun berkurang produktifitasnya. Dari mestinya 1 jam bisa melakukan sales call katakanlah 30 call dalam satu jam, kalau dia terlambat 1 jam 30 call itu hilang toh...
Sekarang ambil contoh orang yang naik taksi, kalau taksi dengan tarif baru biaya per kilo meternya rata-rata Rp 2,500 ; waktu per jam nya Rp 13,000 .
Jadi kalau seseorang yang menempuh jarak yang sama tapi kondisi yang berbeda, satu macet (kecepatan rata-rata 5 km/jam) satu lancar (kecepatan 40 km / jam) maka yang macet itu pasti membayar lebih mahal, tergantung berapa lama dia berada di taksi itu.
Banyak sekali yang rugi dengan kemacetan ini, bukan hanya 'wong sugih' yang rugi seperti yang dibilang wakil gubernur Jakarta yang baru Prijatno. Aku yakin supir angkot, supir bis, atau mereka-mereka yang menggunakan jalan raya pada umumnya pasti mengalami ketidakproduktifan ini.
Sayang angkutan umum yang ada pun tidak bisa menyelesaikan masalah ini, bagaimana dengan busway? aku sudah hitung dari segi waktu masih belum sesuai harapan pemilik kendaraan pribadi, makanya masih banyak kendaraan pribadi yang belum mau pindah ke busway. Temuan Institute Transportasi Nasional mengatakan bahwa para pengguna busway hampir keselurahaannya (sekitar 80% lebih) adalah pindahan dari kendaraan umum yang lain.
Kalau menurut aku, untuk mengajak para pemilik kendaraan pribadi ke busway gampang !
1. perlihatkan busway tidak berdesak-desakan setiap saat
2. perlihatkan tidak ada antrian yang panjang dan penuh sesak di setiap haltenya
3. perlihatkan bahwa busway bisa melaju kencang di setiap koridor jalan, tidak ada perlambatan kecuali memang mau berhenti di halte untuk ambil dan menurunkan penumpang.
4. perlihatkan tidak ada antrian beli tiketnya.
kalau ke 4 hal itu dilihat oleh pemilik kendaraan pribadi setiap hari, apakah pagi hari, siang hari, sore sampai malam hari, aku jamin semua pemilik kendaraan pribadi pindah menggunakan busway.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda