Rabu, 24 Maret 2010

Busway? on the way !


Jakarta punya cerite, Jakarta punya kemacetan, Jakarta punya Busway. Masyarakat Jakarta sudah bosan dengan macetnya jalan raya setiap hari dan hampir setiap saat – karena kemcaetan Jakarta tidak bisa di prediksi. Jumlah kendaraan yang terus meningkat tidak dibarengi dengan luas jalur jalan adalah alasan sahih tapi kuno. Dibilang kuno karena itu berarti Pemerintah tidak siap dalam membaca trend kondisi perkotaan dan tata kota-nya. Mungkin hanya kenaikan gaji yang selalu dinantikan oleh pemerintah, tapi kesejahteraan masyarakat atau kenyamanan masyarakat untuk berproduksi dilupakan, emang gue pikirin?

Busway lahir di kota Jakarta, saat Soetiyoso-Foke menjadi pasangan Gubernur dan Wagub. Dan merupakan terobosan yang dicoba untuk mengantisipasi kemacetan Jakarta. Walau belum sempurna dan belum mencapai tujuan yang diharapkan pemda DKI yang saat ini di komandoi Bang Foke sebagai Gubernur tetap melanjutkan sistem transportasi busway dan melakukan berbagai macam perbaikan.

Beberapa perbaikan yang bisa dilihat masyarakat sejauh ini adalah adanya beberapa koridor tambahan yang berarti pula ada penambahan armada bus. Adanya perubahan / penambahan rute untuk waktu-waktu tertentu. Misalnya kalau dulu rute Kalideres – Sudirman, penumpang mesti turun di harmoni, saat ini ada rute yang langsung dari Kalideres-Sudirman, pun sebaliknya. Beberapa armada busway sudah memiliki pintu tebuka dengan cara geser, bukan lagi lipat. Ini lebih efektif karena penumpang yang di pintu lebih aman tidak terjepit seperti pada pintu bus dengan cara lipat.

Sayang perbaikan ini masih belum signifikan untuk menarik perhatian para pemakai mobil pribadi untuk berpindah menggunakan moda transportasi busway. Seperti pengamatan penulis bahwa kenyamanan menjadi kunci utama untuk itu dilanjutkan dengan kecapatan waktu tempuh busway, dua faktor kunci itu bisa menarik perhatian pemilik kendaraan pribadi mobil untuk pindah menggunakan busway. Walaupun busway dirasakan cukup murah untuk ukuran transportasi umum, pemilik kendaraan pribadi masih enggan berpindah moda. Macet jalan raya masih terlihat di jalanan yang menjadi jalur busway. Parkir umum untuk menyimpan kendaraan pribadi di terminal busway tidak begitu menarik, karena jatuh-jatuhnya biaya menjadi lebih besar, sedangkan kenyamanan dan waktu tempuh tidak berbeda.

Busway masih menjadi andalan untuk mayarakat yang memang dulu nya menggunakan jasa transportasi umum, seperti angkot, bis dan lainnya. Selain murah, busway lebih aman. Tapi nilai murah dan aman itu masih tidak menarik buat pengendara motor. Menggunakan motor walaupun lebih berbahaya, dan tidak nyaman, tapi maih lebih cepat dari busway untuk sampai ke tempat tujuan.

Untuk itu pemerintah dan pengelola sarana transportasi buswa mesti memikirkan cara, memperbaiki kondisi yang ada untuk mendapatkan nilai di bidang kenyamanan, dan kecepatan waktu tempuh. Antrian di halte bis harus seminim mungkin, pengaturan armada adalah kunci nya. Sekiranya penambahan armada belum bisa dilakukan maka pengaturan jumlah armada di titik-titik yang pada penumpang mesti mendapatkan prioritas jumlah armada yang sesuai. Dan jalur lintasan busway mesti bersih dari hambatan kendaraan pribadi lainnya.

Tiket elektronik pun semestinya bisa diaplikasikan di semua halte, dari pengamatan penulis, tiket elektronik atau Jackard ini hanya berfungsi di terminal tertentu. Perbaikan lainnya seperti pintu masuk dan pintu keluar penumpang mestinya dibuat terpisah, hal ini untuk mengurangi penumpukkan penumpang di tengah. Penulis melihat beberapa armada di halte harmoni sudah membuka pintu samping belakang untuk penumpang, walaupun itu untuk penumpang lansia, wanita hamil, dan anak-anak sehingga tidak perlu bertempur dan saling dorong masuk busway. Saling dorong antar penumpang di halte masih sering terlihat, masyarakat kita tidak terbiasa dengan budaya antri, mestinya ada jalur antrian yang jelas dibuat sedemikian rupa sehingga meminimalkan orang saling dorong, yang bisa menimbulkan kecelakaan dan ketidak nyamanan antar sesama penumpang.

Hari gini masih ada Markus Pajak, apa kata dunia?


Pajak adalah sumber pendapatan suatu negara. Informasi mengenai pajak dan hal-hal yang berhubungan dengan pajak menjadi perhatian yang tidak bisa disepelekan begitu saja. Di negara maju seperti Amerika, pengetahuan mengenai kutipan pemerintah terhadap rakyatnya adalah suatu pembelajaran tersendiri, bukan hanya rakyat yang memiliki status sebagai pengusaha tapi juga di kalangan pekerja.

Dalam buku Personal Finance & Investing All-in-One For Dummies karya Melanie Bien, Julian Knight, and Tony Levene salah satu pasal nya membahas mengenai bagaimana membayar pajak lebih rendah daripada yang dibayarkan orang lain; tapi perlu diingat bahwa apa yang disampaikan adalah untuk membayar kewajiban pajak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Berbeda halnya jika seseorang memang berencana untuk menghindari nominal pajak secara besar-besaran.

Pajak dari masyarakat dikumpulkan pemerintah untuk membangun negara, membangun infrastuktur di segala bidang. Itu sebabnya rezim SBY begitu getol mengumandangkan slogan pajak,” Hari gini tidak bayar pajak, apa kata dunia?” pesan-pesan pajak itu disebarkan di seluruh media elektronik, media cetak seluruh Indonesia. Setiap bulan Maret Dirjen Pajak mengutus anak buahnya untuk jemput bola, mendapatkan laporan pembayaran pajak dari masyarakat. Itu sebabnya banyak drop box untuk pelaporan pajak di mal-mal, di gedung-gedung perkantoran. Langkah jemput bola ini memang dirasakan masyarakat bermanfaat karena tidak perlu repot-repot pergi ke kantor pajak yang mungkin jaraknya jauh dan terkendala macetnya lalulintas seperti kota Jakarta misalnya.

Masyarakat yang dulunya hanya tahu ada pemotongan dari pendapatannya untuk pajak tapi tidak perduli dengan pelaporannya – saat ini menjadi mudah untuk mengisi pelaporannya, selain adanya ‘tutorial’ di website dirjen pajak, para pegawai perpajakkan memberikan pedoman pengisian secara langsung bagi mereka yang belum paham benar pengisian tsb.

Masyarakat mulai sadar bahwa sebagian dari uang mereka yang didapatkan dengan berjerih payah, dengan keringat dan banyak pengorbanan diberikan kepada negara untuk membangun negara, meningkatkan kesejahteraan bangsa dengan pembangunan di berbagai sektor. Sayang kepercayaan masyarakat yang mulai tumbuh ini masih dicederai oleh kasus-kasus yang masih berkutat di seputar pelanggaran hukum bidang korupsi, penggelapan pajak. Berita yang paling hangat saat ini mengenai adanya makelar kasus perpajakan sangat klop dengan waktu saat ini, dimana Maret adalah waktu akhir untuk mengirimkan laporan pembayaran pajak bagi wajib pajak badan usaha maupun perorangan.

Makelar kasus pajak Gayus Tambunan bertemu dengan makelar kasus hukum di kepolisian dan kejaksaan membuat heboh jagat berita Indonesia dengan seliweran uang Rp 25 Miliar yang tidak diketahui asal-usul dan pindah tangannya. Mereka para makelar kasus – yang disingkat menjadi Markus seperti siluman sakti yang sulit ditangkap dan dengan mudahnya lolos dari jerat hukum. Masyarakat pun diramaikan oleh sepak terjang Susno Duadji mantan Kabareskrim yang mengangkat kasus ini ke permukaan, dimana beberapa nama petinggi POLRI tersangkut di dalamnya. Jaksa yang mendadak pilon dengan membebaskan Gayus pun diperiksa oleh yang berwenang. Masyarakat menunggu aksi pemerintah untuk memberantas Markus perpajakkan dan markus hukum.

Slogan pemerintah “ Hari gini tidak bayar pajak, apa kata dunia?” maka lahirlah slogan dari masyarakat untuk Pemerintah RI

“Hari gini masih ada Markus Pajak, apa kata dunia?”