Kamis, 29 Mei 2008

BBM - Prologue

Sebelum maupun sesudah Pemerintah RI menaikkan menaikkan harga BBM banyak yang pro dan tidak sedikit yang kontra. Mahasiswa masih demo sampai saat tulisan ini selesai. Setiap hari media cetak maupun media elektronik membahas tentang kejadian yang tersngkut kenaikan harga bbm. Apa kebijakan itu pro lo atau pro gue, itu gaya orang Jakarte bilang.

Ketika Pemerintah mengeluarkan isu akan menaikkan bbm, beberapa pelaku Usaha sudah menaikkan harga, pasar traditional, pasar moderen tidak terkecuali. Sedangkan transportasi public langsung menaikkan harga beberapa jam setelah pengumuman pemerintah. Semestinya hal itu tidak boleh terjadi. Teman-teman di kantor cerita kalau memang tidak mau bayar ongkos ya turun dari kendaraan. Menyedihkan memang. Angkutan umum, sudah kenyamanan kurang, keamanan minim, harga yang dibayar mesti lebih tinggi.

Untungnya
Lalu kemudian Pemerintah mengeluarkan jurus BLT untuk mereka yang tidak mampu. Sayangnya kebijakan ini hanya untuk sementara, 7 bulan saja katanya. Setelah 7 bulan entahlah, kasihan juga mereka yang tidak mampu. Apakah jurus ini untuk meredam gejolak social sebagai ekses kebijakan kenaikan bbm? Atau jurus untuk memenangkan pemilu 2009? Atau jurus money politik terselubung? Atau penyelamatan anggaran belanja Negara?
Karena banyak para pemerintah daerah yang menolak jurus BLT diterapkan di daerahnya. Karena dari pengalaman yang terjadi di tahun 2005 begitu banyak penyimpangan yang terjadi. Dari mulai data yang tidak valid, pemotongan BLT oleh aparat, kolusi diantara aparat dan penerima BLT.
Kalau JK mengungkapkan bahwa bbm hanya dinikmati kaum yang mampu saja, sehingga dengan kenaikan bbm tidak akan berdampak pada rakyat tidak mampu. Kita lihat saja.

Saya pribadi merasa prihatin dengan kondisi di Negara ini, seperti tidak bisa mengantisipasi kenaikan bbm, Pertamina tidak dipersiapkan untuk menjadi pilar utama sebagai produsen bbm, terlambat sudah. Tukang bor minyak dan gas terlalu banyak asing nya. Itulah kalau akibatnya kalau pemerintah mau enaknya saja terima semacam fee dari eksplorasi alam sendiri. Coba dari dulu ada porsi yang diambil dalam setiap eksplorasi, lalu porsi itu semakin besar, dan akhirnya mandiri melakukan eksplorasi sendiri. Dari proyek-proyek energi yang kebetulan dikerjakan oleh perusahaan saya bekerja saat ini, begitu banyak konsorsium asing dalam eksplorasi energi yang terjadi, sebut saja untuk eksplorasi energi panas bumi. Adalah memang kegiatan eksplorasi ini memerlukan capital yang besar, tapi kemana pemerintah, kemana institusi keuangan swasta maupun pelat merah, kenapa lebih tertarik mengucurkan kredit nya untuk konsumsi, kenapa bukan infrastruktur? Apakah karena resiko besar yang kelihatan lebih dominan daripada keuntungan besar yang diharapkan?