Jumat, 06 Maret 2009

Pembajakan di Hari Musik Nasional


Sejak ditetapkan tahun 9 Maret 2003 sebagai hari Musik Nasional, perkembangan musik di tanah air boleh dikatakan berkembang dengan baik. Musik bukan saja di pandang sebagai aktivitas pengisi waktu luang, tapi musik sudah menjadi industri. Tengok saja band-band baru yang bermunculan atau mendengar radio-radio di tanah air atau melihat acara musik di televisi maka lagu-lagu berbahasa Indonesia demikian banyaknya. Para generasi muda pun sudah tak ragu lagi untuk menjadikan musik sebagai penopang hidup. Karena dari cerita sukses yang ada dengan bermusik popularitas dan kekayaan bisa diraih sekaligus. Belum lagi kalau ditawari jadi caleg, jadi cagub, jadi capres walah jadi capcay bisa-bisa : )

Tapi ditengah eksplorasi kemampuan kreatifitas bermusik ini, pembajakan yang seyogianya menjadi batu sandungan masih belum bisa diberantas. Banyak hal sudah dilakukan untuk memberantas pembajakan di Indonesia, tidak hanya musik tapi juga filem, software dan karya cipta lainnya. Peraturan anti pembajakan sudah dibuat, harga cd sudah diturunkan, harga bisokop sudah murah malah sekarang ada sewa filem secara digital, tapi pembajakan tetap eksis. Sulit untuk menyalahkan satu satu bagian elemen dari pelaku dan penikmat musik di tanah air. Tak bisa disalahkan produsen musik yang membuat rekaman satu album dengan harga yang di bilang masih terlalu mahal, bisakah disalahkan juga adanya pembeli musik bajakan karena pembeli akan berujar karena masih ada yang jual secara terbuka. Beda harga musik rekaman original dan rekaman bajakan bisa mencapai 500% lebih untuk rekaman album artis Indonesia sedangkan untuk artis luar negeri lebih melangit lagi. Belum kalau formatberb pembajakannya dalam format kompresi mp3 wah....perbedaan harganya bisa ampun-ampunan jauh nya.

Sampai saat ini hukum baru menghadang pelaku pengganda nya saja, sedangkan penjual masih kucing-kucingan. Kalau ada razia baru rekaman bajakan menghilang beberapa waktu kemudian ada lagi. Apalagi sisi pembeli lebih sulit atau belum di sentuh sama sekali. Walaupun denda yang tertulis untuk sebuah produk bajakan cukup besar tapi karena pemberdayaan hukumnya belum bisa optimal maka pembajakan tetap ada. Lalu apakah dengan hilangnya pembajakan maka apakah industri musik kita akan lebih maju seperti sekarang?

Pernah ditemukan dalam satu artikel grup musik cadas Pearl Jam membolehkan fans nya untuk membajak karya-karyanya asalkan untuk pemakaian sendiri, bukan untuk tujuan komersial, Pearl Jam adalah grup musik rock dari Seattle Amerika yang pada dasawarsa 90 an mengusung aliran musik rock alternative grunge dan bertahan dalam suksesnya sampai saat ini. Tapi tentu tidak semua grup musik seprti Pearl Jam, grup raksasa seperti Metallica ogah dan menentang Napster yang dianggapnya sebagai pembajak karya cipta mereka dan Napster pun dituntut secara hukum. Di Indonesia tuntutan hukum mengenai hak cipta terbilang jarang, yang baru terdengar di 2009 ini adalah dituntutnya Inul Daratista karena memproduksi lagu karaoke untuk keperluan komersial tanpa persetujuan pencipta nya. Entah bagaimana nanti kasus ini akan selesai menarik untuk diikuti.

Label: , ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda