Senin, 16 Februari 2009

OSPEK, antara diperlukan dan tidak perlu


Mana yang lebih berkesan saat di bersekolah di Sekolah Menengah Atas atau saat kuliah di perguruan tinggi? Masing-masing orang punya pilihan sendiri. Tapi ketika seseorang remaja menjejak kakinya di perguruan tinggi maka akan ada satu lompatan cara berpikir dan bertindak yang signifikan dibandingkan perpindahan dari tingkat lainnya. Di perguruan tinggi seseorang dituntut tidak hanya untuk berpikir kritis tapi juga dituntut bertanggung jawab atas setiap tindakan dan perbuatannya.

Dan ketika memasuki perguruan tinggi, maka lingkungan pun akan lebih berwarna karena satu universitas biasanya didatangi oleh banyak pelajar dari berbagai daerah, apalagi kalau perguruan tinggi yang dituju adalah perguruan tinggi favorit. Dulu perguruan tinggi favorit adalah perguruan tinggi negeri, tapi seiring dengan perkembangan bangsa, perguruan tinggi swasta pun mulai diperhitungkan sebagai perguruan tinggi favorit.

Pengenalan lingkungan sepertinya menjadi hal yang diformalkan untuk dilewati oleh setiap mahasiswa baru. Pengenalan lingkungan kampus yang sering disebut OSPEK adalah kegiatan yang diusung oleh himpunan kemahasiswaan dari suatu jurusan di suatu perguruan tinggi. Sebenarnya banyak hal positive yang bisa didapat dari OSPEK di suatu perguruan tinggi, misalnya kita bisa berkenalan lebih dekat dengan mahasiswa lainnya baik yang satu angkatan maupun yang lebih senior, bisa berkenalan dengan alumni yang sudah bekerja atau berwirausaha (atau berkenalan dengan mahasiswa yang DO – Dropped Out : ) Apa yang bisa didapat dengan berkenalan, tentu banyak yang bisa digali, dan sudah semestinya para senior dan alumni harus banyak ‘memberi’ pada adik-adik kelasnya. Tapi alih-alih memberikan pencerahan kepada adik kelas, beberapa oknum mahasiswa malah unjuk senioritas dengan menunjukkan sikap arogansi dan sikap sok tahu nya, walau pun di dunia kerja atau dunia prestasi sang adik bisa saja melebihi seniornya siapa tahu?

Adanya tindak kekerasan fisik dalam satu kegiatan OSPEK semestinya sudah harus dihilangkan dari peta pendidikan Indonesia. Coba saja simak kejadian OSPEK di ITB Geodesi yang menelan korban jiwa atau OSPEK di STPDN, dan perguruan tinggi lainnya, mahasiswa baru berdarah-darah, sakit bahkan meninggal perlukah demikian? Apakah ada hubungannya kekuatan raga, mental dengan intelektual? Sekiranya ada, maka departemen pendidikan melalui rektorat terkait mestinya berkoordinasi dengan himpunan mahasiswa yang akan melaksanakan OSPEK. Kasus OSPEK di ITB – walaupun belum ditemukan adanya tindakan kekerasan fisik seperti di STPDN tapi merunut kronologis peristiwa yang dipaparkan di media massa bahwa ternyata bentuk kekerasan fisik itu bukan hanya seperti pemukulan pada mahasiswa baru, tapi aktifitas fisik juga bisa merupakan siksaan bagi mereka yang memang tidak terlatih raganya. Lalu sebatas mana kekuatan fisik dan kekuatan mental diperlukan dalam mengikuti kegiatan OSPEK, tidak ada suatu standar yang menentukan hal itu dan tidak ada pemberitahuan sebelumnya kepada para peserta untuk diberikan suatu informasi atau tenggang waktu mempersiapkan diri sebelumnya.

Pihak perguruan tinggi sudah semestinya melakukan koordinasi formal dalam setiap kegiatan OSPEK, karena bagaimana pun suatu himpunan kemahasiswaan atau pun ikatan alumni masih berkaitan erat satu dengan lainnya, sebuah civitas academica. Jadi kasus meninggalnya mahasiswa baru atau pemukulan senior terhadap juniornya sudah harus musnah dari setiap kegiatan pendidikan di Indonesia, beda halnya kalau kuliah di UBI – Universitas Boxing Indonesia.


Untuk seniorku mahasiswa Jurusan Maintenance ’90 yang pernah memberiku contacted ‘side-kick’ saat OSPEK tahun 1991 di Bandung, dimanakah kau dan masih maukah engkau ajak duel kau hari ini? : )

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda