Jumat, 10 Juli 2009

Ketika Lanjutkan menjadi Kenyataan


Tanggal 8 July 2009, Indonesia kembali mencatat sejarah kehidupan berdemokrasi yang baik. Setelah pemilihan legislatif beberapa waktu sebelumnya sempat tercemar dengan kisruhnya DPT yang mengakibatkan banyak warga negara Indonesia di golputkan oleh KPU, pada pemilihan Presiden KPU sudah berbenah diri walaupun tetap masih banyak yang harus diperbaiki.

Sejarah kehidupan demokrasi di Indonesia diperkaya dengan beberapa konten baru pada kampanye calon Presiden dan wakilnya. Visi dan misi sang calon tidak hanya disampaikan dengan orasi di lapangan, mengundang simpatisan berkerumun di satu tempat yang bisa menimbulkan huru-hara. Kampanye kali ini ada hal-hal baru yang dinilai lebih positip. Dengan adanya media elektronik dan cetak yang berlimpah, masing-masing calon bisa memaparkan program yang akan dilaksanakan untuk kepentingan rakyat Indonesia. Dan Indonesia diperkenalkan dengan debat sang calon, dimana kharisma atau pengalaman di pemerintahan atau seorang anak raja sekalipun perlu di uji kemampuannya. Dalam pengujian itu masyarakat akan menilai isi kepala sang calon juga mental dan perilaku calon presiden dan wakilnya dalam menyampaikan paparan ide-ide terbaiknya.

Debatting mungkin belum begitu dikenal dalam kultur ketimuran masyarakat Indonesia yang menjunjung tinggi musyawarah, menghormati sesama dan tidak memaksakan kehendak sendiri, sehingga debat Capres dan wakilnya masih terlihat begitu kaku dan terkesan hati-hati seolah takut menyinggung perasaan dan martabat seseorang, padahal yang di debat adalah visi-misi atau program yang akan diusung oleh sang calon presiden dan wakilnya bukan personaliti nya. Masyarakat Indonesia tentu lebih ‘nrimo’ gaya debat SBY-Boediono yang santun – adem ayem, ibandingkan Prabowo yang meletup-letup, atau JK yang kocak dan pintar.

Pemilihan Presiden kali ini pun menegaskan bahwa matrikulasi pemilihan Presiden lima tahun lalu tidak berlaku lagi, matriks pasangan capres dan wakilnya seperti militer – non militer memang masih terlihat, tapi matriks lain seperti nasionalis-religi, atau Jawa – non Jawa tidak bisa dijadikan gacoan lagi. Ketika bangsa Indonesia melihat dirinya sama dengan lainnya tanpa memperdulikan etnis atau suku bangsanya maka sebenarnya matriks nasionalis-religi dan Jawa – non Jawa sudah kadaluarsa dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dalam membuat paket Presiden dan wakilnya, Partai demokrat sebagai pemenang dalam pemilu legislatip melakukan pendekatan berbeda dengan Calon Presiden dan Wakil dari para pesaingnya. Seolah Partai Demokrat tidak menggubris konstituen Partai lain sebagai pendukungnya dan ingin menegakkan prinsip Prerogatip Presiden dalam pemilihan Capres kali ini. Adalah wajar Partai Demokrat melakukan hal ini, karena aturan yang berlaku Partai Demokrat bisa melaju sendiri setelah memenangkan suara 20% pada pemilu legislatip. Hal ini tidak bisa disanggupi oleh PDI-P dan Partai Golkar yang menjadi urutan di bawah Partai Demokrat. Dan adalah wajar kalau Partai Demokrat tidak perlu mengambil calon wakil Presiden dari partai pendukungnya seperti PKS, PKB, PAN karena selain perolehan suara di Legislatif yg 20%, figur SBY yang kuat dan mewakili Partai Demokrat hanya bisa menjadi Presiden sekali lagi. Sekiranya SBY memilih wakilnya dari partai pendukungnya maka bisa dipastikan Partai Demokrat bisa kehilangan kekuatannya pada pemilu mendatang, sebuah strategi yang baik dalam pertempuran politik jangka panjang.

Kemenangan SBY-Boediono yang tinggal disahkan oleh KPU, menjadi hal yang menarik untuk disimak, bagaimana figur SBY masih menjadi sentral yang disukai oleh Rakyat Indonesia, dengan andalan programnya Pemberantasan Korupsi seolah mengalahkan Jargon calon lain yang sebenarnya sama-sama di awang-awang. Rakyat tidak bisa dibeli oleh kontrak politik yang terbilang berani menawarkan pertumbuhan ekonomi dua digit, atau janji lebih cepat lebih baik untuk kemajuan bangsa yang Mandiri, masyarakat Indonesia terpikat oleh sopan santun SBY-Bodiono, Calon Presiden dan Wakilnya yang lebih sedikit nilai asetnya seolah mengatakan kalau mereka tidak memikirkannya melainkan berbuat untuk bangsa Indonesia, dan masyarakat pun menaruh kepercayaannya. Tidak perduli dengan krisis global, dengan pertumbuhan ekonomi yang semu, dengan bencana akibat kelalaian dan hal lainnya, rakyat percaya SBY-Boediono adalah orang yang tepat untuk memimpin bangsa Indonesia lima tahun kedepan. Suara rakyat adalah suara rakyat, bukan suara Tuhan. Tapi suara rakyat yang harus menentukan siapa yang dijadikan pemimpinnya. Semoga Tuhan memberkati bangsa Indonesia.

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda