Selasa, 07 Oktober 2008

Operasi Yustisia

Akhirnya liburan panjang Lebaran selesai sudah, walaupun konteks nya liburan tapi repotnya ngga kalah sama repot hari-hari biasa. Apa pasal, karena pembantu rumah tangga (PRT) kami pun libur selama 15 hari. Jadi walaupun sudah masuk kantor sang PRT masih berlibur. Jadi mulai dari mengasuh anak, cuci pakaian, bersih-bersih, masak kami lakukan sendiri. Untuk hal yang terakhir itu kami kurang terlatih jadi kalau sudah bosan makan masakan sendiri mau ngga mau pergi ke mal. Ternyata, di mal padat sekali tidak kebagian tempat duduk. Rupanya orang-orang Jakarta yang lainnya pun punya problem yang sama ha ha.

Bagi kami PRT merupakan asset, kami menjaga hubungan baik yang ada. Gaji sang PRT kami naikkan setiap tahunnya, malah ngga sampai setahun – karena mengikuti tahun Muharam. Jadi kenaikan gaji dilakukan setelah kembali masuk kerja selepas libur lebaran. Kenaikan gaji memang tidaklah besar yang pasti uang sang PRT tidak sampai tergerus inflasi. THR kami berikan satu bulan gaji, dan ada uang pengobatan jika mereka jatuh sakit. kami menghargai mereka karena operasional harian kami tidak akan berjalan lancer tanpa kehadiran mereka. Kami memiliki dua orang PRT, yang satu untuk mengurusi anak kami, dan yang lainnya untuk mengurusi rumah tangga. Kami tidak mau kalau tiap tahun PRT kami bergonta-ganti orang, memang di satu sisi bisa menekan biaya karena biasanya kalau orang baru gajinya akan lebih murah, tapi faktor lainnya seperti kepercayaan, pembelajaran dan pengertian akan keluarga kami tentunya akan berkurang dan tentu saja hal itu ada harganya.

Dan adanya operasi yusitisia yang diberitakan media massa dalam liputan arus balik membuat kami sedikit was-was karena salah satu PRT kami belum memiliki KTP. Seperti yang didengungkan oleh pemerintah DKI kalau operasi yustisi ini untuk mengurangi urbanisasi, untuk mengurangi tingkat kriminalitas, dan mengurangi gelandangan dan pengemis jalanan. Memang serba salah jadinya, di satu sisi Jakarta adalah pusat perputaran bisnis dan perputaran uang dengan hampir 80% uang nasional beredar di Jakarta ini, dan itu pula yang membuat orang-orang daerah pergi ke Jakarta. Bukan saja orang-orang seperti para petani, atau para buruh, dan pekerja informal lainnya yang mencoba adu nasib, adu keterampilan di Jakarta, mereka yang lulusan perguruan tinggi strata 1 sampai strata 3, lulusan perguruan tinggi dalam dan luar negeri pun dating ke Jakarta ini. Sayangnya operasi yustisi ini menjaring mereka yang kurang mampu secara ekonomi. Padahal semestinya pengurusan KTP baik di kota besar maupun kota kecil tidaklah terlalu mahal dalam hitungan harga resminya. Tapi menurut riset Metro TV bahwa pengurusan KTP adalah yang paling parah sebagai salah satu layanan masyarakat di republik ini. Jadi mestinya bukan hanya mereka yang tidak punya KTP yang harus di jarring lalu di denda atau di pulangkan ke daerah asalnya, tapi pemerintah daerah sudah seharusnya membenahi masalah pencatatan kependudukan ini. Biaya untuk operasi Yustisia ini kabarnya menelan Rp 900 jutaan, bukan angka yang sedikit tapi apakah efektif dan efisien untuk tujuan yang dimaksudkan?

Saya sependapat dengan urban Poor Consortium bahwasanya operasi Yusitisia ini perlu dibenahi dalam hal konsep dan pelaksanaannya. Supply-demand pekerjaan dan tenaga kerja memang ada di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung dan akan sulit untuk mengurangi atau bahkan menghentikan arus urbanisasi selama sector bisnis dan perekonomian hanya berkutat di kota-kota tersebut. Pemerintah seharusnya bisa mengintensifkan pemberdayaan daerah dengan pemerataan bisnis di daerah daerah. Seperti halnya Jakarta yang sudah memberlakukan aturan bahwa tidak akan ada lagi pembangunan industri manufaktur, hal ini membuat daerah penyangga seperti Bekasi dan Tangerang ikut aktif dan perekonomian pun ikut berputar lebih cepat. Dan pasti penduduk di daerah bersangkutan akan mendapatkan pertambahan income. Kalau memang pemerintah ingin mengurangi pengangguran, maka operasi yustisia ini harus dibenahi, pemerintah pusat pun harus mengawasi pemerintah daerah khususnya dalam hal pencatatan kependudukan dan kalau bisa membuat satu koordinasi terpadu dengan daerah lainnya.

Jadi mana perlu didahulukan pengentasan kemiskinan, pengurangan angka penganguran atau pengurangan arus urbanisasi?

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda